Setiap makhluk yang bernyawa telah dijamin rezekinya oleh Sang Pencipta. Menurut ajaran Islam, takdir rezeki seseorang telah ditetapkan sejak usia kandungan menginjak empat bulan. Namun, kualitas rezeki tersebut – baik atau buruk – bergantung pada cara memperolehnya. Rezeki bisa menjadi buruk akibat cara mendapatkannya yang tidak sesuai syariat.
Dalam literatur Islam klasik seperti karya Muhaemin, istilah rezeki (rizq) berasal dari kosakata Arab ‘razago-yarzuqu-rizqan’ yang mencakup makna nasib, bagian hidup, atau kekayaan. Hakikat rezeki mencakup segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan manusia, mulai dari pakaian yang melekat di tubuh hingga makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari.
Seperti dijelaskan Abdullah Gymnastiar dalam karyanya, Allah telah menciptakan mekanisme rezeki yang unik untuk setiap makhluk. Pohon yang tak bisa bergerak diberi makanan melalui akar-akarnya. Bayi singa yang belum mampu berburu diberi asupan melalui air susu induknya, kemudian berkembang menjadi kemampuan berburu saat dewasa. Ini membuktikan bahwa rezeki selalu disesuaikan dengan tahapan dan kemampuan makhluk.
Firman Allah dalam Surah Hud ayat 6 menegaskan:
“Tidak ada satupun makhluk bergerak di bumi melainkan Allah yang menjamin rezekinya. Dia mengetahui tempat tinggal dan penyimpanannya. Semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).”
Agama Islam menekankan pentingnya mencari rezeki melalui jalan halal. Rezeki yang diperoleh secara halal akan membawa berkah dalam kehidupan dunia dan akhirat. Selain menjamin kebersihan harta, cara halal juga melindungi dari tindakan merugikan orang lain dan pelanggaran syariat.
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 172:
“Wahai orang beriman, makanlah rezeki baik yang Kami berikan, dan bersyukurlah kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.”
Rezeki halal tidak hanya memberikan kecukupan materi, tetapi juga ketenangan batin karena sesuai dengan tuntunan agama.
Takdir rezeki bisa diraih melalui ikhtiar manusia. Namun ketika diperoleh dengan cara haram, manfaatnya pun menjadi tidak berkah. Surah An-Najm ayat 39-41 menegaskan bahwa manusia hanya mendapatkan apa yang diusahakannya, dan setiap usaha akan mendapat balasan sempurna.
Rezeki berkah tak selalu diukur dari kuantitas. Meski jumlahnya terbatas, ia mampu mencukupi kebutuhan dan memberi peluang berbagi. Sebaliknya, harta melimpah yang tidak berkah sering dihabiskan untuk hal sia-sia dan tidak memberikan kepuasan batin.
Rezeki sejati adalah yang bisa memberi manfaat bagi banyak pihak. Dalam Surah Al-Lail ayat 17-21, Allah memuji orang yang menginfakkan harta untuk membersihkan diri dari kekikiran, semata mencari ridha-Nya.
Ciri rezeki berkah adalah kemampuan membuat pemiliknya merasa cukup tanpa keserakahan. Sikap qana’ah (merasa cukup) ini menjadi penanda kedewasaan spiritual seseorang.
Rezeki berkah memiliki ciri khas: tidak mudah hilang dan selalu mengingatkan pemiliknya pada Sang Pemberi Rezeki. Dengan senantiasa bersyukur dan bersedekah, harta tersebut akan terlindungi dari berbagai bencana.